Blogger Widgets
Kamis, 30 Agustus 2012 0 komentar By: Unknown

Lelaki Yang Menatap Matahari

Hanya ada seonggok jagung dikamarnya
Ia memandang jagung itu
Dan ia melihat dirinya terlunta-lunta[1]
Lelaki itu berdiam diri didalam rumah gelapnya. Duduk di kursi nyamannya seraya mengelus bulu Godam anjingnya, dan memandang keluar rumah, menatap matahari nan congkak memanasi bumi. Ia Sedang menghayati kontemplasi tertinggi akan eksistensi diri dan realiti. Apakah hidup harusnya disyukuri atau disesali sebab terkadang hidup tak menawarkan kenikmatan untuk bisa melakukan keduanya. Syukur atau nikmat. Sebenarnya sekitar 720 hari yang lalu lelaki ini ialah lelaki yang teramat tegar dan kuat. Ia mempunyai semangat luar biasa dalam menggapai apa yang ia inginkan. Filosofinya adalah segala yang berlari pasti masih bisa dikejar selama kecepatan Kita dinaikkan perlahan namun konstan agar mampu melampau kecepatan sesuatu itu, karena Kita memiliki sepasang kaki maka yang perlu Kita lakukan adalah mengayunkan kaki Kita lebih lebar seraya berlari lebih kencang. Maka sesuatu itu akan terkejar juga, hanya masalah waktu kapan saja. Yang disayangkan dulu tak diperhitungkan lelaki itu adalah ternyata untuk berlari secara konstan itu saja tidaklah mudah. Ternyata banyak rintangan menghadang yang tak sesuai keinginan. Ada kala sebongkah kerikil tajam merobek ujung jempol kakinya hingga membuatnya terluka dan darah mengucur di sela jari, lalu luka itu membarah lama kelamaan jadi borok sebab infeksi menjadi. Ada saat dimana rupanya otot kakinya protes kelelahan diajak terus berlari mengejar sesuatu yang tak tentu apa itu, hingga sang lelaki terpaksa berhenti. Beristirahat sejenak dan tentu saja apa yang dikejarnya terus bisa berlari jauh dan menambah kembali jarak antara dirinya dan sesuatu itu. Memang apa sesuatu yang dikejar lelaki itu? Konon namanya adalah impian dan nama panggilannya ialah cita-cita.
***

Ternyata waktu yang memuai terlalu lama itu membunuh kesabarannya perlahan. Lelaki yang dulu semangat berlari lama kelamaan tak sabar juga dibuatnya oleh karena mimpi yang dikejar tak kunjung kesampaian. Kini ia serasa lelaki yang kalah karena idealisme yang dipujanya setengah mati semenjak 720 hari lalu akhirnya padam oleh rasa bosan. Alangkah geramnya sang lelaki demi tahu bosan adalah pembunuh yang lebih manjur dari sianida dan juga tikaman pedang zorro. Bosan mengendap mencuri semangat, maka sebenarnya jangan pernah bosan. Karena hidupnya bosan mematikan dirimu perlahan, namun terlambat. 720 hari sudah sang lelaki mengkonsumsi kebosanan itu tiap hari. Kebosanan yang timbul karena idealisme yang terbentur realita hingga ia bingung memilih antara memperjuangkan cita-cita idealnya atau melebur kepada realita hidup yang melingkupi hidupnya dengan menjadi orang kebanyakan. Masih terngiang pula kata-kata kekasihnya yang sambil menatapnya nanar berkata “lupakan mimpi tololmu, lalu bekerjalah seperti orang lain agar Kita dapat segera menikah untuk hidup normal.” Itu tepat 360 hari lampau, sebuah stimulasi yang mempercepat matinya semangat dan hidupnya bosan. Kini lelaki masih saja kebingungan di rumah gelapnya memegang sebonggol jagung rebus untuk dimakan, memandang dunia luar yang kejam, Godam yang berlarian seolah tanpa dosa, serta menatap garangnya matahari dipuncak tertinggi cakrawala. Sambil dalam hati ia berkata:
“Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal
Seonggok jagung ia di kamar
Tidak menyangkut pada akal Tidak akan menolongnya
disini aku merasa asing dan sepi”[2]
***
Dari dalam rumahnya juga lelaki itu melihat di sudut halaman rumahnya ada kerangka manusia tergeletak, tengkoraknya menampakkan rongga mata yang tak ada bola matanya dan terkesan menyeramkan. Ada juga sebilah belati menemani kerangka manusia itu dan sebuah piring besar yang kosong tak ada isinya namun dalam piring itu terlihat jelas walau dari kejauhan sebuah huruf A didalam lingkaran yang merepresentasikan sebuah kata: anarki. Lagi-lagi masih dalam ceruk terdalam kebosanannya sang lelaki berpikir: “ah manusia, Kita sudah sedemikian binatangnya sampai saling bunuh dalam gejolak anarki hanya untuk memperebutkan piring yang Kita kira berisi makanan lezat namun rupanya kosong belaka. Kita memperebutkan ketidakpastian dalam piring kosong sampai mata Kita buta tak mampu melihat paha ayam goreng yang akhirnya malah menjadi santapan anjing jalanan. Jika menjadi manusia sudah sedemikian binatangnya, lalu kenapa Kita tak jadi binatang saja sekalian? Oh atau jadi anjing saja seperti Godam. Lihatlah anjing Boomer berusia 3 bulan ini? seolah tanpa dosa ia terus berlarian bersenang-senang. Tanpa ambisi menjadi kuasa atau memikirkan problema hidup yang begitu banyak dinegeri ini. Alangkah irinya Aku padamu Godam, rupanya Kamu lebih bahagia ketimbang diriku. Tuanmu yang tak tahu malu ini.”
Saat hari menjelang petang dan sang matahari garang hendak beranjak ke peraduan, saat itulah sang lelaki didalam rumah gelap sampai pada fase akhir kontemplasinya tentang rasa bosan, teralienasi dari lingkungan, rasa ketidakberdayaannya memanajemen antara idealisme dan realita, dan lain sebagainya. Lalu kenapa sang lelaki demikian malang dalam hidup ini? Mungkin ia adalah reinkarnasi tokoh-tokoh sentral dalam mitologi Yunani, sang lelaki adalah Sisifus, yang dihukum dewa Yunani untuk terus mendorong sebuah batu besar keatas gunung, hanya untuk melihat ketika sampai diatas gunung lalu Dewa menjatuhkan lagi batu itu sampai menggelinding kebawah dan Sisifus harus mengulangi mendorongnya lagi. Terus berulang sampai mati. Sang lelaki juga adalah bentuk resureksi Ikarus yang berambisi besar dan berjiwa muda. Setelah dikurung bersama ayahnya di Pulau Kreta, lalu sang ayah membuatkannya sebentuk sayap dari bulu angsa yang direkatkan dengan lilin. Sang Ikarus berhasil terbang dengan sayap itu dan merasa bebas, lalu mengindahkan nasihat Ayahnya untuk tidak terbang terlalu tinggi aagar matahari tak melelehkan lilin sayapnya, atau terlalu rendah agar tak terkena air laut. Jiwa muda dan idealisme Ikarus membuatnya lupa akan seluruh nasihat Ayah, terbanglah ia tinggi sampai mendekat matahari. Dan benar saja lilin sayapnya meleleh, jatuh bebaslah Ikarus ke laut Aegea dan mati karena idealismenya. Sang lelaki lalu mendapatkan jawaban akhir atas segala keadaannya: “percaya diri dan idealisme membabi buta pada akhirnya memang tidak menghasilkan apa-apa jika Kita tak mau sedikit saja berbaur dengan realita. Idealisme itu perlu karena tanpanya Kita adalah robot tanpa mimpi dan cita-cita, namun uang dan hidup nyata juga perlu karena tanpanya Kita tak bisa menolong diri sendiri, apalagi menolong orang lain.” Sang lelaki tersadarkan kini, masih ditatapnya matahari yang kini di ufuk barat serta berwarna merah indah. Dipeluknya Godam anjing kecilnya, dan dengan sebuah pena menuliskan beberapa kata disecarik kertas putih, kata yang diperuntukkannya kepada Ikarus yang dianggapnya sebagai representasi dirinya yang terbang terlampau tinggi namun jatuh terjerembah ke bumi. Kata-kata itu berbunyi:

“hidup tak selamanya linier…
…Kau, terbang dari ketinggian mencari yang paling sunyi
Dan Kau melayang, mencari mimpi-mimpi tak kunjung nyata.
Kulihat engkau terkulai, tubuhmu membiru…tragis[3]


Lelaki Dengan Bekas Luka Di Jidatnya

Lelaki yang duduk tepekur di atas kursi malas yang diletakkan di kebun bunga dengan halaman tertutup rerumputan hijau lembut itu adalah seorang pemburu yang terkenal mahir menggunakan senapannya. Tak ada suara anak-anak di rumah itu sebab mereka semuanya, kecuali si bungsu, sudah pergi meninggalkannya mencari rezeki di kota-kota yang jauh, bahkan di sebuah pengeboran minyak lepas pantai di wilayah Ceram.

Mereka adalah anak-anak yang dulunya sangat rajin belajar dan berhasil menyelesaikan studi mereka di universitas-universitas terkenal. Putut, yang tertua, yang dulunya bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing berukuran raksasa, dan dia tidak pernah tinggal di satu kota besar dalam tempo yang lama. Kegiatannya berterbangan dari satu bandara ke bandara internasional yang lain, memberikan konsultasi yang mahal harganya, beristirahat akhir pekan di pantai negeri jauh, dan hanya sekali-sekali singgah di Jakarta. Tidak ada waktu untuk pulang ke Bali mengikuti berbagai upacara adat yang mengalir tak kering-keringnya dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Anggota keluarganya di desa selalu membicarakannya sebagai seorang sosok yang sangat dibanggakan oleh seluruh keluarga di kampung. Warga desa yang berhasil, seorang local genius yang sudah go international.

Bilamana mereka berkumpul di pura desa untuk sebuah upacara besar, sebuah piodalan , maka ketidakhadirannya dapat dimaafkan, sedangkan warga desa yang sudah merantau ke Denpasar atau bahkan ke Surabaya, bilamana tidak menghadiri upacara itu selalu dibicarakan.

"Berapa jauhkah Surabaya? Banyak bus malam yang melintasi desa kita, tetapi kenapa dia tak datang? Bukankah dia dapat menyisihkan waktu barang dua malam untuk pulang?"

Mungkin yang paling rajin pulang untuk menghadiri piodalan di desa maupun di sanggah keluarga adalah Dek Gung yang bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Malang. Ada Bus Simpatik yang melayani penumpang dari Malang ke Singaraja, dan bilamana pulang, Dek Gung selalu menumpang bus itu, atau membawa mobil sendiri, datang dengan istri dan anak-anaknya. Dek Gung-lah yang paling mendapat pujian dari penduduk desa maupun dari keluarga, apalagi lelaki yang semasa mudanya itu aktif dalam kegiatan Teruna-Teruni di Banjar Bali di kota Singaraja sekarang sering memberikan dana punia untuk pembangunan desa maupun pura desa.

Mang Yul adalah anak ketiga, satu-satunya anak yang paling cantik dalam keluarganya sebab dialah anak perempuan satu-satunya. Adatnya santun sebagaimana diteladankan oleh ibunya. Dia sudah hidup bersama suaminya di Jakarta, dengan demikian tak banyak dibicarakan oleh orang sedesa karena dia sudah mengikuti keluarga suaminya yang berasal dari Badung.

Tut Sur adalah si bungsu, dan setelah itu tak ada lagi anak kelima. Bukan sebab lelaki itu mengikuti prinsip KB cara Bali, yakni beranak maksimum empat sebagaimana ditunjukkan oleh sistem penamaan anak-anak, tetapi karena Tut Sur membawa serta berita duka menyertai kelahirannya. Tut Sur-lah yang masih tinggal bersama lelaki tua yang dulu terkenal sebagai seorang pemburu yang mahir menggunakan senapannya itu, tetapi lelaki itu jarang berada di rumah walaupun tinggal bersama ayahnya.

Di rumah itu hanya tinggal tiga orang, lelaki itu bersama anaknya, seorang pembantu perempuan yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan seekor anjing yang bertugas menjaga rumah di malam hari.

Ketika istrinya hamil anak keempat itu, permintaan yang mudah dikabulkan adalah seekor babi guling yang lezat, harus dimasak sendiri, dan harus berasal dari seekor babi hutan yang masih muda.
"Kalau itu urusan kecil," kata lelaki itu.

Maka dia pun berangkat sendirian ke arah hutan lindung di Bali Barat, perbatasan antara wilayah Buleleng dan Jembrana, namun dia tidak berburu di sana. Di mulut hutan dia berbelok ke kanan menuju arah pantai. Di situlah tempat sebaik-baiknya berburu babi hutan sebagaimana teman-temannya sesama pemburu pernah katakan. Di sana dia mungkin akan bertemu sesama pemburu dan akan mengadakan perburuan bersama. Di hutan lindung, di wilayah dekat Desa Cekik, menurut teman-temannya tidak aman. Bukan lantaran polisi hutan sering berkeliaran, tetapi lantaran penjaga hutan dari alam gaib tidak selalu ramah pada orang yang datang memasuki wilayah ini. Banyak sekali pantangan yang harus dipatuhi bilamana orang memasuki wilayah ini. Yang pertama, tentu, hati mereka tidak boleh kotor. Lalu, mereka tidak diperkenankan membawa daging sapi. Lalu, tidak boleh mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan penjaga hutan di situ.

Pernah terjadi serombongan siswa SMA berkemah di wilayah itu bersama beberapa guru pembimbing. Sebelum berangkat, kepala sekolah sudah memberi pesan agar mereka berhati-hati berada di wilayah itu, tidak berbuat yang tak senonoh, berkata kotor, berpikiran kotor, dan tidak membawa bekal yang berasal dari daging sapi. Tidak boleh ada dendeng sapi, abon daging sapi, atau apa pun.

Salah seorang gurunya berasal dari Jawa dan tidak terlalu percaya pada hal-hal yang dianggapnya tahyul. Celakanya, ketika berada di wilayah itu dia ungkapkan ketidakpercayaan itu dalam kata-kata.

Tidak terjadi apa-apa, dan bapak guru itu semakin berani dengan mengatakan, "Bapak kan boleh makan abon, ya?" Lalu dengan enaknya dia menyantap abon yang dibawanya dari rumah dengan nasi bungkus yang disediakan panitia.

Tidak terjadi apa-apa, dan yakinlah dia bahwa apa yang dikatakan orang tentang semua larangan itu hanyalah tahyul belaka.

Ketika jam tidur datang, anak lelaki berkumpul dengan anak lelaki, dan siswa perempuan berkumpul dengan siswa perempuan dalam kemah mereka sendiri. Mula-mula terdengar teriakan dari kemah siswa perempuan.
"Ada yang bebainan ," teriak seorang siswa.

Ternyata bukan hanya seorang siswi yang bebainan, tetapi dua, tiga, lima. Sejumlah guru perempuan mencoba menolong, lalu guru lelaki ikut datang, lalu datang pula guru yang berbekal abon daging sapi itu, tergopoh hendak memberikan pertolongan.
"Aduh!" teriak lelaki itu, jatuh terkapar ke tanah, badannya kejang-kejang.
"Pak Man bebainan juga!" teriak para siswa panik.

Begitulah kisah teman-teman pemburu tentang Pak Man yang jatuh terkapar, dan ketika dicarikan dukun yang pandai, nyawanya ditebus dengan nasi kuning, bunga-bunga, dan sebaris doa.
"Kalau tidak, dia pasti mati. Nyawanya diminta oleh penjaga hutan."

Itu cuma salah satu kisah yang dapat ditimba dari wilayah itu. Masih banyak kisah lain yang terjadi tetapi tak tercatat. Misalnya tentang berpuluh mahasiswa yang tiba-tiba sakit perut.
"Lebih baik kita berburu di wilayah yang aman," kata pemburu itu.

Di langit tak ada bulan, hanya bintang yang bertebaran sampai memayungi laut. Dia menunggu dengan sabar sementara dari tadi dia tak bertemu seorang pun. Tiba-tiba dia mendengar suara semak-semak yang diterjang gerakan tubuh.
Dia pun bersiap-siap dengan senapannya.
"Ini pasti babi hutan," pikirnya.

Dan ketika suara semak belukar yang bergerak itu makin keras maka meletuslah senapannya dan terdengar tubuh yang rebah ke tanah.

"Ah, babi hutan besar yang terkena tembakanku," keluhnya, sementara istrinya minta seekor babi yang masih muda. Pelahan dia berjalan ke semak-semak itu, dan ketika dia menyorkan senternya ke arah bunyi rebah itu, dia tertegun tak berkata apa, tak bergerak.
"Tidak!!!"
Mematung beberapa saat lamanya, akhirnya dia lari meninggalkan tempat itu.
Kepada istrinya disampaikan warta bahwa semalaman tak dijumpainya babi hutan seekor pun.
"Mungkin mereka berpindah ke arah barat, tapi aku tak berani menginjak wilayah tenget itu," katanya.

Menjelang pagi istrinya mengeluh lantaran kandungannya terasa sakit. Dengan sepeda motor dia melarikan istrinya langsung ke rumah sakit. Ketika fajar tiba istrinya melahirkan anak mereka yang keempat, Tut Sur, Ketut Surya yang lahir ketika surya telah terbit. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi yang sehat itu.

Lelaki itu menangis, dan seminggu kemudian dia menyembunyikan tangis yang lain dan menuai was-was yang makin bertunas, ketika dia membaca berita di harian Bali Post tentang mayat seorang lelaki dengan luka tembakan di jidatnya, ditemukan sudah membusuk di tengah hutan di wilayah pantai ujung barat Pulau Bali.

Tut Sur yang jarang tinggal di rumah itu ternyata dari jam ke jam berada di sudut kota, bicara dengan banyak orang yang tak terlalu mempedulikannya. Kadang dia bicara pada rembulan, kadang pada jembatan beton Kampung Tinggi yang kokoh. Pada suatu sore dia kembali ke rumah, bau badannya tak terlukiskan dan pakaiannya kotor. Pemburu itu masih duduk tepekur di kursi malas di tengah kebun bunga halaman rumahnya.

Tut Sur tiba-tiba menubruk lelaki itu, bersimpuh di pangkuannya dengan pertanyaan seorang anak yang haus akan jawaban:
"Ayah, ayah, kenapa ada luka di jidatku ini?"
Luka itu sudah ada sejak dia dilahirkan, tetapi kenapa dia baru bertanya sekarang?

Lelaki pemburu itu memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangan dan dikecupnya bekas luka di jidat anak itu seolah dia ingin menghisapnya supaya tertelan ke dalam perutnya.
"Ya, Hyang Widhi. Kenapa tidak kau lubangi saja kepalaku agar anakku ini tidak menjalani siksa seumur hidupnya?"

"Ayah, ayah, kenapa ada bekas luka di jidatku? Apakah aku anak durhaka? Apakah aku Prabu Watugunung yang durhaka? Atau, apakah aku putera Dayang Sumbi?"
"Ah, siapakah yang mendongeng padamu, anakku? Ibumu bukan?"
***

Kisah Sedih Cici Sang Kelinci

Mama, mengapa Mama lupa menjemputku? Cici jadi harus pulang sendiri,” kata Cici sambil melempar tas ke atas sofa.
Ia membuka sepatu, lalu melemparkan ke teras. Kaus kakinya pun diletakkan sembarangan. Cici kesal.
Mama tadi pagi berjanji akan menjemput Cici di sekolah. Biasanya, Mama akan datang bersama Boni, adiknya yang masih bayi. Lalu mereka akan berjalan pulang ke rumah bersama-sama.
Bagi Cici, itu adalah saat yang paling disukainya karena bisa bercerita panjang lebar tentang kegiatannya di sekolah.
TETAPI HARI ini, Mama ingkar janji. ”Mama minta maaf, sayang. Mama tidak lupa, tetapi tiba-tiba adikmu demam dan Mama tidak berani membawanya keluar.
Mama sudah menelepon Bu Tari dan menitip pesan supaya kamu pulang bersama teman-temanmu. Tetapi, ternyata teman-temanmu sudah pulang semua. Mama menyesal, Mama minta maaf,” jelas Mama sambil mengelus kepala Cici.
Tiba-tiba terdengar tangisan Boni dari dalam kamar. Mama segera meninggalkan Cici yang masih kesal.
”HU-UHHH! Selalu saja Boni yang diperhatikan. Aku tidak,” gerutu Cici sambil membawa kotak makan. Cici pergi ke halaman belakang.
Tempat itu seperti taman bunga karena Mama menyukai bunga. Ada macam-macam bunga yang ditanam Mama, seperti anggrek, mawar, melati, kana, bunga lili, dan masih banyak lagi.
Cici duduk di atas rumput sambil memakan sisa kue dari kotak makannya.
TIBA-TIBA…,
”Hai!” Suara itu mengejutkan Cici.
”Siapa itu?” tanya Cici.
”Ini aku. Ssst… di bawah sini,” kata suara itu.
Cici menundukkan kepalanya. Itu Peri Hijau, temannya yang hidup di antara bunga-bunga peliharaan Mama.
”Mengapa kau kelihatan kesal?” tanya Peri Hijau.
”Aku sedih dan kesal. Mama lebih memerhatikan adik daripada aku,” kata Cici sedih.
”Tetapi, sepertinya adikmu sedang sakit. Pasti Mamamu khawatir,” kata Peri Hijau.
”Mama lebih mengkhawatirkan Boni daripada aku,” kata Cici.
”Ia memang sedang khawatir, tetapi Mama tetap sayang padamu,” kata Peri Hijau.
”Lagi pula kamu, kan sudah besar. Sekolah tidak jauh dari rumahmu. Kamu bisa jalan pulang bersama teman-teman. Kamu bisa cerita kepada Mama setibanya di rumah. Cobalah, mungkin lebih menyenangkan,” Peri Hijau memberi saran.
Cici cuma merengut.
”Begini saja, coba kamu ambil dua buku, lalu kembali lagi ke sini,” kata Peri Hijau.
CICI MASUK ke dalam rumah dan kembali dengan dua buku. ”Untuk apa buku ini?” tanya Cici.
”Buku yang pertama adalah buku sedihmu. Di dalamnya kamu tulis semua kesedihanmu, sedangkan buku yang kedua adalah buku gembira. Di sana kamu tulis semua kegembiraanmu,” jelas Peri Hijau.
Cici jadi sedikit bersemangat. Di buku sedih ia menulis, ”Mama tidak menepati janji. Mama lebih menyayangi Boni.”
Peri Hijau memerhatikan tulisan Cici. ”Bagus. Sekarang buku yang kedua.”
Cici berpikir-pikir, sehari ini apa saja hal yang membuatnya gembira.
”Hari ini aku diantar Papa, senang sekali. Tugas menggambarku dapat nilai delapan. Tugas berhitung dapat nilai 10. Sewaktu istirahat, aku bermain ayunan dengan Tita. Hari ini aku dapat teman baru, Sasi namanya. Ia pandai bercerita.”
”Banyak juga, ya,” kata Cici senang.
PERI HIJAU gembira melihat Cici mulai bisa tersenyum lagi.
”Lihatlah. Kesedihanmu cuma ada dua, tetapi kegembiraanmu ada lima hari ini,” kata Peri Hijau.
”Iya,” kata Cici tersenyum. ”Aku ingat Tita dan Sasi. Mereka teman-teman yang baik.”
”Itulah gunanya buku-buku ini. Bila kau sedih, bukalah buku gembiramu, dan kau akan melupakan kesedihanmu.”
”Terima kasih Peri Hijau. Kau baik,” kata Cici. ”Aku mau menemui Mama. Aku ingin menceritakan kegembiraanku hari ini,” kata Cici sambil beranjak dari duduknya.
Ditinggalkannya Peri Hijau yang tersenyum melihat Cici.

Ketegaran Cinta Bertakbir


Seorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja dan akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya. Termasuk saya.

Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat soleha, yang patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu, ‘’don juan'’ yang satu ini juga sangat menyukai Mimi. Track record-nya yang begitu glamor dan mentereng tidak meragukan untuk merebut hati Mimi.
Sedangkan saya, hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran. Karena saya tidak mau persahabatan kami hancur.
Lambat laun, Mereka pun pacaran dari mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati ini sedikit teriris). Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.
Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, di balik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem ayem, orang tua Ranu yang salah satu pejabat di daerah itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya. Namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sekalipun di luar persetujuan orang tua Ranu. Dan secara otomatis, Ranu diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi. Setelah menikah, mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekanbaru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah meninggal.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya Ranu, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju Kota Bertuah.
Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar. Hingga tahun kelima, di mana aku masih sendiri dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya lagi.
Sampai di suatu siang yang terik, di hari Sabtu, kebetulan saya berada di rumah tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamar. Temanku mengatakan ada tamu dari Pekanbaru. Siapa gerangan? Pikirku ketika itu.
Sejenak aku tertegun ketika melihat sosok perempuan di depan pintu, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkanku,”Faris….Faris kan!” katanya.
Sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari merangkulaku, sambil terisak keras di bahuku. Saat itu aku hanya bisa diam tertegun dan tak tahu hendak melakukan apa, meskipun aku tahu dia bukan muhrimku.
Kemudian aku menjauhkannya dari bahuku sambil masih ragu, bergumam pelan, “Mimi…Mimikah?”
Masyaallah…Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas. Badannya kurus dengan jilbab lusuh yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah robek di beberapa bagian.
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat aku tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, aku menghela nafas dalam, menunggu jawabannya.
“Mas Ranu, Ris….Mas Ranu sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu.”
Kata-kata Mimi membuatku tercekat beberapa saat, namun sebelum aku sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil bercerita, “Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah. Keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri kan, aku menantu yang tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu,” katanya.
Dia bercerita, dia bekerja serabutan di Pekanbaru, mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dan sebagainya, hingga suaminya meninggal. “Keluarganya, hanya memberiku uang sekadarnya untuk penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib di sana Ris,” kata-kata Mimi berhenti di sini, disambut isak tangisnya. Sedang aku yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.
Mimi tertegun… dia memandangku nanar. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan seuntai kalung emas besar, sisa hartanya.
“Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini Ris.”
Pelan-pelan aku meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiranku melayang menuju sisa uang di amplop, dalam tas. Jumat kemarin aku baru mendapat gaji. Sebagai pegawai di suatu instansi, gajiku sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi itulah sisa uangku. Aku mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di kamar, semua kuinfaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.
Mimi menatap amplop di tanganku, sejurus kemudian aku meletakkan amplop tersebut di atas meja sambil berkata, “Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil, nanti sisanya biar aku pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha.”
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil di dekat rumah saya.
Alhamdulillah, sekarang di tahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil. Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa aku contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Mimi tetanggaku kini dan setiap pagi selalu menyapa riang aku, wajah cantiknya kembali bersinar.Dia juga tekun mendengar keluh kesahku pada setiap permasalahan yang aku hadapi setiap harinya, termasuk ketika aku mulai mengeluh tidak betah di kantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika aku menghadapi badai kemelut usia yang sudah berkepala tiga belum juga menemukan jodoh.
“Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak.”
Lalu Mimi mengajak aku melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak (sungguh rumah yang mungil). Mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, kemudian katanya, “Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menjalaninya Ris. Sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang.”
Aku pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang aku bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja aku melintas di depan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta di hatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Allahu Akbar….