Kupandangi hari yang terhiasi
rintikan hujan, tapi titik-titik hujan itu tak tampak dengan mata telanjang.
Kusiap berjalan di bawahnya, terselimuti air yang makin lama membasahi tubuhku
ketika ku telah sampai di sekolah. Harapanku aku tak akan jatuh sakit karena
air hujan ini.
Leherku bagaikan tertusuk pecahan
kaca sehingga gerakanku tak sempurna ketika ku menoleh. Ketika kuberkaca,
pantulan cermin di hadapanku memperlihatkan ada sesuatu berbentuk bintik yang
tumbuh di leherku entah itu jerawat atau bisul. Setelah tiga hari, tanpa
kusadari, cermin menangkap mataku dan mengharuskanku memperhatikan baik-baik
ada apa di wajahku. Bintik-bintik sejenis telah menggerogoti wajahku.
Hariku terasa hanya setengah
terpotong dengan waktu di atas kasur. Study time tak kuhadiri
dikarenakan lemahnya kondisi badanku yang tergerogoti suhu panas. Sungguh ku
anggap demam setiap sore dan malam ini disebabkan oleh air hujan yang
menyelimutiku tempo hari. Tiga hari sudah ku seperti ini, merasakan hari hanya
setengah, ketika pagi hingga siang ku enggan meninggalkan sekolahku, tapi di
kala sore hingga malam tak ada daya melawan panas tubuhku. Mandi yang
menyadarkanku bahwa bintik-bintik itu tidak hanya tumbuh di wajah tapi juga di
permukaan tubuhku. Ketidaktahuanku mendukungku menyatakan bahwa bintik ini
timbul karena alergi sesuatu. Keesokan hari ketika kubangun pagi, tak terasa
tubuh ini terbawa ringan oleh udara ketika bergerak lalu terhempas oleh angin
dan jatuh.
Kondisiku yang lemah ini memaksaku
untuk segera pergi ke rumah sakit. Rumah sakit Bakti Husada adalah yang
terdekat sekitar lima menit ku sudah tiba di sana. Di ruang UGD kutunjukkan
bintik-bintik aneh yang timbul di permukaan tubuhku kepada dokter umum, dengan
tangkas dan hati-hati beliau memberitahuku bahwa cacar lah rahasia di balik
penasaranku selama ini. Aku menderita cacar. Seperti sayur yang tak bergaram,
maka diare membumbui cacar yang kualami. Aku menderita cacar berbumbu diare.
Bertepatan dengan ulang tahun ke-63
Indonesia, untuk pertama kalinya aku sebagai pelajar tidak mengikuti upacara 17
Agustus. Rumah sakitlah tempatku. Aku adalah korban kelima yang dihinggapi
virus cacar di sekolahku . Tempatku di asrama dikhawatirkan oleh orang
sekitarku lebih-lebih direktur asrama. Virus cacar yang mudah tertularlah
sebabnya. Mereka takut tertular. Apalagi direktur asrama yang tidak ingin
mendapat teguran dari orang tua siswa karena membiarkan adanya penderita cacar
yang hinggap di asrama, maka beliau menyarankan kepadaku untuk tinggal
sementara di rumah keluarga di Jakarta ini bila ada. Bahasa kasarnya aku harus
keluar dari asrama untuk selang waktu tertentu hingga cacarku reda. Panasku
pagi siang sore malam tanpa henti membuatku terus mengeluh. Kepada siapa aku
mengeluh? Aku tak punya keluarga di kota besar ini. Telepon genggam yang selalu
ku genggam kupakai untuk menghubungi ayah ibuku. Kepada merekalah aku mengadu,
mengeluh, mengungkapkan keresahanku.
Lima jenis obat yang dokter berikan
harus diminum setelah makan dan secara teratur. Dengan kondisiku yang susah
untuk berdiri ini, siapa yang membawakanku makanan dari kantin untuk sarapan,
makan siang dan juga makan malam? TAK ADA kecuali aku yang minta tolong. Lemah
tubuhku mengisyaratkan aku harus banyak tidur. Bila aku ketiduran saat waktunya
makan lalu minum obat, siapa yang akan membangunkanku? TAK ADA.
Untungnya mimpi selalu menghiburku.
Mimpi yang selama ini jarang melayang di kepalaku karena waktu tidurku tak
cukup untuknya. Aku berhasil diterima di fakultas teknik penerbangan ITB. Aku
berhasil diterima di fakultas kedokteran UI. Aku berhasil mendapatkan beasiswa
di aerospace engineering faculty di Jerman. Berhasil menjadi wanita
karir. Berhasil mengelilingi dunia. FLAP. Mimpi-mimpi ini memenuhi ruangan
renggang di otakku. Aku lebih senang menganggapnya obsesi bukan mimpi.FLAP.
Bangunku merusak alur mimpi itu. Tapi tak apalah. Mimpiku tak boleh terpendam
harus memiliki masa depan. Begitulah orang sakit. Banyak maunya.
Kedatangan ibuku di hari ketiga aku
sakit cukup membangun semangatku kembali. Tapi tetap saja aku lemah. Ibuku
terpanggil menjengukku yang datang dari jauh yaitu Samarinda, Kalimantan Timur
dikarenakan beliau tidak tega padaku anak perempuannya satu-satunya sedang
sakit tak ada yang mengurus. Ditambah lagi dengan adanya pemberitahuan dari
direktur asrama bahwasanya lebih baik aku bila dirawat di luar asrama. Terang
saja ibuku memutar pikirannya dan mencari rumah kontrakan yang layak
ditinggali.
Maka di rumah inilah aku di rawat
setelah sempat satu malam aku di tempatkan di ruang klinik dokter di lantai
empat di gedung sekolah. Ruangan ini mempersulit ibuku. Kami tak terjamin
makan. Ibuku tak bebas merawatku karena fasilitas yang memang tak cocok dengan
kondisiku. Ruang gerak ibuku sempit dan tak bebas karena ruangan itu dig dung
sekolah lantai empat. Bayangkan saja. Ibuku benar-benar telaten
memperhatikanku, kapan waktunya makan dan minum obat.
Kebosananku meminum lima jenis obat
itu membuatku culas yang hanya meminum dua jenis di antaranya. Jagung parut
adalah solusi penyembuhan cacar di tubuhku ini. Menurut pengalaman dari ibuku
bahwa dengan mengolesi jagung parut di bintik-bintik merahnya, cacar akan cepat
mengering. Inilah yang ibuku lakukan setiap hari.
Pihak asrama tidak pernah tahu aku
di mana, bahkan aku tak mau mereka tahu. Tapi pembina asramaku memaksaku untuk
mengatakannya. Merekapun bertanya kapan aku kembali ke asrama. Pertanyaan ini
membuatku rindu akan sekolah dan asrama. Terhitung seminggu aku sakit, selama
itulah aku tak sekolah.
Suatu pagi aku enggan sekali makan.
Ibuku menyediakan susu di hadapanku dan itulah yang kupaksa bisa masuk melalui
mulutku ini. Selang beberapa waktu, toilet yang selalu ingin kukunjungi untuk
menuntaskan isi perut. Muntah menyelingi. Kondisiku lemah, makanan tak bisa
masuk ke mulutku, dan kelopak mataku susah untuk membuka. Sehari semalam aku
menderita seperti ini. Cukup memmbuat mamaku khawatir ada apa gerangan denganku
ini. Keesokan harinya, dengan niat meminta obat untuk cacar, ibuku membawaku ke
rumah sakit Puri Cinere karena koleksi obatku dari dokter sebelumnya telah
berada di tubuhku.
Tak disangka dokter umum yang
kutemui menyuruhku untuk berbaring, suster diperintahkan untuk memasukkan jarum
suntikan ke pembuluh darah tangan kiriku. Aku harus menunggu hasil laboratorium
darahku. Empat jam berlalu hasilnya pun keluar. Rencanaku untuk kembali ke
sekolah esok hari buyar dikarenakan aku harus dirawat di rumah sakit ini.
Kekurangan cairanlah sebabnya. Banyaknya air yang keluar ketika aku diare tidak
diimbangi dengan banyaknya air yang masuk ke dalam tubuhku. Kekurangan kalium
dalam darah lah yang membuat kondisi badanku lemah tak berdaya. “kamu harus
diopname kira-kira tiga sampai empat hari” kata dokter. Ini memberatkanku
karena menunda kepulanganku ke sekolah lebih-lebih dari masalah biaya. Rumah sakit
ini bukan rumah sakit pemerintah sehingga asuransi kesehatan yang kumiliki tak
berfungsi.
Aliran darahku yang telah tercampur
dengan zat-zat yang masuk dari cairan infus jelas terasa. Desiran rasa sakit
yang tak terkira. Sering aku lemah dibuatnya. Tapi zat inilah yang kubutuhkan.
Zat inilah yang berperan penting untuk kesembuhanku. Suster bergantian
mondar-mandir masuk ke ruanganku sangat teratur memberiku obat, tapi kurasa aku
tak mengalami perubahan. Sehari saja Tuhan mengizinkanku untuk dirawat di rumah
sakit. Batinku bergejolak antara kebosanan kejenuhan apalagi masalah biaya.
Dokter cantik bernama Fitri yang menanganiku tak mengizinkanku pulang karena
pencernaanku belum stabil. Tekad keraslah yang berbicara. Aku ingin keluar dari
sini. Aku ingin segera kembali sekolah.
Aku tau, tapi dokterlah yang lebih
tau kondisiku, tapi Tuhanlah yang paling tau tekad kerasku. Bila aku berpikir
bisa. Aku pasti bisa. Jadilah aku keluar dari Puri Cinere ini dengan berbekal
obat untuk rawat jalan dan setelah membayar beberapa juta biaya pengobatanku
yang terukur tinggi untuk kalangan keluargaku. Segera kutekadkan untuk kembali
ke asrama. Aku kembali. Aku pulang.
0 komentar:
Posting Komentar