Kehidupan jalanan yang katanya
penuh kejahatan lebih menyenangkan bagi Bintang daripada hidup di bawah
kejahatan nyata seseorang yang seharusnya memberi kasih sayang. Bintang bisa
menari, bernyanyi, mengisi hari sebagai anak normal di tengah komunitas
manusia, bukan di antara benteng kekayaan tetapi miskin kasih sayang.
Plak…!
Tangan besarnya mendarat di pipi, menimbulkan suara yang
mengiris hati. Bintang merintih menahan perih yang tidak terkira. Beribu-ribu kali
pukulan itu telah mendarat di tubuhnya. Dari kaki hingga kepala semuanya telah
terjamah oleh kekejaman orang yang seharusnya memberi kasih sayang. Tindakan
yang telah menjadi adat, mengakar, hingga sulit untuk dihilangkan.
“Ayah, minta uang!” Sambil memegang pipi yang sakit, Bintang
menangis.
“Anak kurang ajar!”
“Sana minta duit sama Ibumu!” hardiknya, kasar.
Sebenarnya Bintang takut membangunkan ayahnya yang sedang
tidur, tapi karena sudah beberapa hari ia tidak diberi uang jajan, akhirnya ia
pun memberanikan diri untuk membangunkannya. Ketakutan Bintang terbukti,
bukannya uang jajan yang didapat, malah makian yang diterimanya. Dengan
terisak-isak, akhirya ia keluar dari kamar ayahnya.
Ayahnya baru tiba ketika adzan subuh berkumandang.
Langkahnya gontai, matanya merah menyala, menabrak pintu, menabrak kursi dan
meracau seperti orang gila. Kadang, ketika Bintang bangun lebih pagi, ia
berfikir, apa yang dilakukan ayahnya semalaman. Namun ketika hal itu ditanyakan
kepada ibuya, ibunya tidak pernah menjawab.
Ayahnya jarang sekali memberi uang pada Bintang.
Tidak pernah menghibur ketika Bintang sedih. Sikapnya acuh. Namun jika ada
sesuatu yang tidak dikehendakinya, maka amarahlah yang berkata. Jika sedang
menjadi, kekejamannya tidak terkendali. Memukul, menendang, dan kata-kata yang
tidak pantas diucapkan keluar dari mulutnya. Ibunya terjajah sang diktator
keluarga. Terpenjara pada sikap lemah lembut yang terus dijaga. Sedangkan
ayahnya meraja pada tindakan sewenang-wenang. Ibunya selalu mengalah ketika ada
persoalan.
Ayah Bintang terkenal sebagai pengusaha sukses di daerahnya,
Kerta Jasa. Tidak ada yang melebihi kepandaiannya dalam bisnis. Barang bekas
pun bisa dijadikannya lembaran uang. Sampah bisa ia jadikan berkah. Sikapnya
tenang ketika bekerja. Tidak banyak bicara. Targetnya jelas terpampang.
Kepandaiannya bekerja menjadikan ia keluarga terkaya di daerah Kerta Jasa.
***
Akhirnya Bintang berangkat sekolah tanpa uang jajan. Ia
tertunduk lesu membayangkan hari-hari yang telah berlalu. Membayangkan ledekan
teman-teman yang akan diterimanya. Semuanya itu membuat Bintang malas berangkat
sekolah.
“Hey! anak orang kaya, nggak dikasih uang jajan lagi
ya, kasihan banget, makanya jangan jadi anak nakal!” Ujar Gono meledek Bintang.
Siswa yang lain tertawa melihat Bintang kikuk tidak karuan.
“Orang kaya payah!” sambung temannya yang lain.
Entah berapa kali lagi Bintang akan mendengar kata-kata
seperti itu, rasanya ia ingin lari menuju dunia yang sepi.
***
Sudah satu bulan Bintang sekolah, tetapi tidak satu orang pun
mau menjadi temannya. Entah apa yang salah pada Bintang. Padahal, ia
biasa-biasa saja. Tidak pernah berbuat ulah. Tidak pernah menyakiti
teman-temannya.
Mungkin karena pakaianku agak mewah, pikir Bintang.
Hari-hari selanjutnya Bintang menggunakan pakaian sederhana,
tapi tetap meraka tidak ada yang mau bergaul dengannya. Bintang mencoba
mendekati mereka dengan cara memberi makanan, tapi tidak ada yang menerimanya.
Ia sedih, semua orang menjauhinya. Jika waktu istirahat tiba, Bintang tidak
pernah ke luar dari kelas. Ia melamun seorang diri. Ketika pelajaran
berlangsung pun ia duduk sendirian di barisan paling depan.
Bintang mulai bosan hidup sendiri. Ia lebih sering melamun
di kelas ketika teman-temannya asyik bercanda. Ia menjadi anak pemurung yang tumbuh
dalam kubangan masalah. Bintang melihat semua teman-temannya membenci,
menyindir, menganggapnya aneh. Tidak ada seorang pun yang peduli ketika ia
tidak punya uang jajan. Semuanya seolah memusuhi.
Malang benar nasibnya. Di usia yang kecil, ia harus menanggung
beban berat psikologis yang tidak pernah dimengerti apa sebabnya. Ia menjadi
pemurung, pemarah bahkan pada ibunya sekalipun. Kepalanya sering terasa sakit
seolah ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Badan pegal-pegal padahal ia tidak
pernah bekerja apapun. Ayahnya yang melihat Bintang sering bertingkah aneh
malah menyindir, sangat menyakitkan.
“Bintang, kenapa kamu sering melamun? Ada masalah?”
tanya ibunya suatu hari.
“Nggak ada apa-apa kok Bu.”
“Kamu jangan bohong sama Ibu, Ibu tahu kamu sedang ada
masalah, ayo cerita sama Ibu!” pintanya.
“Bu, kenapa semua orang seperti memusuhi kita?” akhirnya ia
ungkapkan masalahnya.
“Kata siapa? Tak ada yang memusuhi kita.”
“Tadi Ibu yang bilang jangan bohong, kenapa sekarang Ibu
bohong,” ujar Bintang karena tidak puas dengan penjelasan ibunya.
“Awalnya saya tidak menyadari sama sekali karena tidak
pernah diizinkan ke luar rumah. Tapi setelah saya masuk sekolah, saya menyadari
bahwa semua orang memusuhi. Kenapa Bu?” tanya Bintang, polos.
”Percayalah anakku! tidak ada yang memusuhi kita. Itu hanya
perasaanmu saja. Sudah sekarang kamu ganti baju, kita jalan-jalan di taman!”
ajaknya.
“Bu, saya ingin main ke rumah teman-teman, boleh nggak?”
tanya Bintang.
“Boleh, tapi izin dulu sama Ayah!”
“Ah, kalau izin sama Ayah pasti nggak diizinin,
kenapa si Bu?” tanyanya.
“Diizinin, nanti Ibu yang bilang. Sekarang kamu ganti baju
saja, kita jalan-jalan!”
Akhirnya Bintang pergi. Dalam hatinya masih mengganjal
sebuah pertanyaan, mengapa ia tidak boleh bermain bersama teman-temannya di
luar rumah.
Rumah mewah, taman luas, kolam renang, ruang olah
raga, mobil, motor, semuanya telah tercukupi di rumah ini. Tapi tetap Bintang
merasa tidak bahagia. Hatinya selalu sedih. Ada sesuatu yang kurang dari
kemewahan rumahnya, dari indah tamannya. Ia seperti terpenjara di sangkar emas
yang megah.
Ketika kelas enam SD ibunya meninggal. Setelah ibunya
meninggal, Ayah Bintang malah semakin menjadi-jadi. Setiap malam tidak pernah
ada di rumah. Terkadang ia baru pulang ketika Bintang hendak berangkat sekolah.
Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dengan diantar oleh seorang perempuan yang
berpenampilan sangat seksi. Bisnis yang dulu sangat dibangga-banggakannya dan
begitu gigih diperjuangkan perlahan tapi pasti mulai mengalami masa kritis.
Kehidupannya semakin menghawatirkan.
Bintang tidak pernah disapanya lagi. Ia semakin takut ketika
melihat Ayahnya. Salah sedikit saja, ia pasti dimarahin. Ia benar-benar merasa
hidup sendiri. Sekolah mulai terganggu. Jangankan uang jajan, untuk makan pun
Bintang siapkan sendiri. Tanpa lauk, ia makan apa adanya.
Karena tidak betah tinggal di rumah, Bintang kabur. Sekolah
ditinggalkan. Ia terkantung-kantung. Makan dari sisa orang makan. Tidur di
emper-emper pertokoan. Tanpa kasur seperti di rumah mewahnya. Juga Tanpa bantal
guling.
Terminal yang bau pesing, jongko-jongko yang kumuh menjadi tempat hidup
baru Bintang. Ia tidak tahu harus ke mana ia pergi, bagaimana ia makan, minum,
sedangkan ia tidak punya uang sepeser pun. Lebih-lebih ia tidak punya teman untuk
diminta pertolongan. Berhari-hari Bintang tidak makan. Badannya mulai terasa
lemas. Akhirnya dengan terpaksa, bermodalkan kaleng bekas yang diisi pasir ia
mengamen.
Bayangan tidak memiliki teman seperti di sekolah dulu
menghantui pikiran Bintang. Ia semakin takut karena hingga saat itu Bintang
tidak memiliki teman satu orang pun. Sedangkan untuk berkenalan dengan teman
sebayanya ia merasa malu. Bintang merasa tidak pantas bergaul dengan mereka. Ia
minder.
Berawal dari pertemuan yang tidak disengaja, Bintang
berkenalan dengan Kobe. Dari dia pula Bintang kenal pada seorang preman
terminal. Preman ini memberi makan pada beberapa anak jalanan, ia seperti ayah
angkat bagi orang seperti Bintang, anak gelandangan. Sebagai imbalannya mereka
harus mengobral suara cemprengnya pada penumpang-penumpang angkot yang
lalu lalang. Selama beberapa hari Bintang tinggal di tempat asuhannya.
“Jek!” panggilan baru Bintang, Kojek, entah apa artinya.
“Malam ini ada pesta kecil, Bos kita baru dapat job
gede-gedean,” ujar Kobe.
“Oke kawan, aku ikut!” getas Bintang
“Sip! itu baru Kojek.”
Bintang kaget bukan main ketika ia hadir di acara itu.
Botol-botol berjejer di meja, cemilan, kacang, serta ayam bakar yang
menggiurkan selara semuanya tersedia.
Ruang sempit itu sesak oleh puluhan orang. Bukan hanya
gelandangan yang sering Bintang lihat, tapi juga gadis-gadis berpenampilan
seksi. Mereka menari-nari, memperlihatkan sesuatu yang seharusnya mereka jaga.
Bintang merasa risih karena tidak biasa dengan acara seperti
itu. Kobe yang mengetahui ketidaknyamanan Bintang mencoba menenangkannya. Ia
mengenalkan Bintang pada beberapa orang temannya. Mereka tampak akrab sekali di
mata Bintang. Ia merasa dihargai keberadaannya. Ia tidak dilecehkan lagi
seperti dulu. Lalu, Ada rasa senang yang tiba-tiba memenuhi dada Bintang.
Banyak hal baru yang ditemui Bintang di lingkungannya
sekarang. Hampir setiap malam Bintang bersama teman-temannya berkumpul dan
membeli beberapa botol minuman. Selain itu, ia sudah sangat akrab sekali dengan
rokok. Entah kenapa ia begitu saja menurut ketika teman-temannya menawarkan
rokok padanya. Dalam hati kecilnya, Bintang selalu bertanya, apakah benar yang
dilakukannya.
Di lingkungan barunya, Bintang bisa menari, bernyanyi,
mengisi hari sebagai anak normal di tengah komunitas manusia, bukan diantara
benteng kekayaan tapi miskin kasih sayang. Ia bisa menari bersama bintang yang
berkedip di langit malam.Semoga Bintang menari laksana kejora yang mempesona,
bukan bintang hitam yang membawa pertanda kelam
0 komentar:
Posting Komentar