Blogger Widgets
Kamis, 30 Agustus 2012 By: Unknown

Bintang Yang Menari

Kehidupan jalanan yang katanya penuh kejahatan lebih menyenangkan bagi Bintang daripada hidup di bawah kejahatan nyata seseorang yang seharusnya memberi kasih sayang. Bintang bisa menari, bernyanyi, mengisi hari sebagai anak normal di tengah komunitas manusia, bukan di antara benteng kekayaan tetapi miskin kasih sayang.

Plak…!
Tangan besarnya mendarat di pipi, menimbulkan suara yang mengiris hati. Bintang merintih menahan perih yang tidak terkira. Beribu-ribu kali pukulan itu telah mendarat di tubuhnya. Dari kaki hingga kepala semuanya telah terjamah oleh kekejaman orang yang seharusnya memberi kasih sayang. Tindakan yang telah menjadi adat, mengakar, hingga sulit untuk dihilangkan.
“Ayah, minta uang!” Sambil memegang pipi yang sakit, Bintang menangis.
“Anak kurang ajar!”
“Sana minta duit sama Ibumu!” hardiknya, kasar.
Sebenarnya Bintang takut membangunkan ayahnya yang sedang tidur, tapi karena sudah beberapa hari ia tidak diberi uang jajan, akhirnya ia pun memberanikan diri untuk membangunkannya. Ketakutan Bintang terbukti, bukannya uang jajan yang didapat, malah makian yang diterimanya. Dengan terisak-isak, akhirya ia keluar dari kamar ayahnya.
Ayahnya baru tiba ketika adzan subuh berkumandang. Langkahnya gontai, matanya merah menyala, menabrak pintu, menabrak kursi dan meracau seperti orang gila. Kadang, ketika Bintang bangun lebih pagi, ia berfikir, apa yang dilakukan ayahnya semalaman. Namun ketika hal itu ditanyakan kepada ibuya, ibunya tidak pernah menjawab.
Ayahnya jarang sekali memberi uang pada Bintang. Tidak pernah menghibur ketika Bintang sedih. Sikapnya acuh. Namun jika ada sesuatu yang tidak dikehendakinya, maka amarahlah yang berkata. Jika sedang menjadi, kekejamannya tidak terkendali. Memukul, menendang, dan kata-kata yang tidak pantas diucapkan keluar dari mulutnya. Ibunya terjajah sang diktator keluarga. Terpenjara pada sikap lemah lembut yang terus dijaga. Sedangkan ayahnya meraja pada tindakan sewenang-wenang. Ibunya selalu mengalah ketika ada persoalan.
Ayah Bintang terkenal sebagai pengusaha sukses di daerahnya, Kerta Jasa. Tidak ada yang melebihi kepandaiannya dalam bisnis. Barang bekas pun bisa dijadikannya lembaran uang. Sampah bisa ia jadikan berkah. Sikapnya tenang ketika bekerja. Tidak banyak bicara. Targetnya jelas terpampang. Kepandaiannya bekerja menjadikan ia keluarga terkaya di daerah Kerta Jasa.
***
Akhirnya Bintang berangkat sekolah tanpa uang jajan. Ia tertunduk lesu membayangkan hari-hari yang telah berlalu. Membayangkan ledekan teman-teman yang akan diterimanya. Semuanya itu membuat Bintang malas berangkat sekolah.
“Hey! anak orang kaya, nggak dikasih uang jajan lagi ya, kasihan banget, makanya jangan jadi anak nakal!” Ujar Gono meledek Bintang. Siswa yang lain tertawa melihat Bintang kikuk tidak karuan.
“Orang kaya payah!” sambung temannya yang lain.
Entah berapa kali lagi Bintang akan mendengar kata-kata seperti itu, rasanya ia ingin lari menuju dunia yang sepi.
***
Sudah satu bulan Bintang sekolah, tetapi tidak satu orang pun mau menjadi temannya. Entah apa yang salah pada Bintang. Padahal, ia biasa-biasa saja. Tidak pernah berbuat ulah. Tidak pernah menyakiti teman-temannya.
Mungkin karena pakaianku agak mewah, pikir Bintang.
Hari-hari selanjutnya Bintang menggunakan pakaian sederhana, tapi tetap meraka tidak ada yang mau bergaul dengannya. Bintang mencoba mendekati mereka dengan cara memberi makanan, tapi tidak ada yang menerimanya. Ia sedih, semua orang menjauhinya. Jika waktu istirahat tiba, Bintang tidak pernah ke luar dari kelas. Ia melamun seorang diri. Ketika pelajaran berlangsung pun ia duduk sendirian di barisan paling depan.
Bintang mulai bosan hidup sendiri. Ia lebih sering melamun di kelas ketika teman-temannya asyik bercanda. Ia menjadi anak pemurung yang tumbuh dalam kubangan masalah. Bintang melihat semua teman-temannya membenci, menyindir, menganggapnya aneh. Tidak ada seorang pun yang peduli ketika ia tidak punya uang jajan. Semuanya seolah memusuhi.
Malang benar nasibnya. Di usia yang kecil, ia harus menanggung beban berat psikologis yang tidak pernah dimengerti apa sebabnya. Ia menjadi pemurung, pemarah bahkan pada ibunya sekalipun. Kepalanya sering terasa sakit seolah ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Badan pegal-pegal padahal ia tidak pernah bekerja apapun. Ayahnya yang melihat Bintang sering bertingkah aneh malah menyindir, sangat menyakitkan.
 “Bintang, kenapa kamu sering melamun? Ada masalah?” tanya ibunya suatu hari.
Nggak ada apa-apa kok Bu.”
“Kamu jangan bohong sama Ibu, Ibu tahu kamu sedang ada masalah, ayo cerita sama Ibu!” pintanya.
“Bu, kenapa semua orang seperti memusuhi kita?” akhirnya ia ungkapkan masalahnya.
“Kata siapa? Tak ada yang memusuhi kita.”
“Tadi Ibu yang bilang jangan bohong, kenapa sekarang Ibu bohong,” ujar Bintang karena tidak puas dengan penjelasan ibunya.
“Awalnya saya tidak menyadari sama sekali karena tidak pernah diizinkan ke luar rumah. Tapi setelah saya masuk sekolah, saya menyadari bahwa semua orang memusuhi. Kenapa Bu?” tanya Bintang, polos.
”Percayalah anakku! tidak ada yang memusuhi kita. Itu hanya perasaanmu saja. Sudah sekarang kamu ganti baju, kita jalan-jalan di taman!” ajaknya.
“Bu, saya ingin main ke rumah teman-teman, boleh nggak?” tanya Bintang.
“Boleh, tapi izin dulu sama Ayah!”
“Ah, kalau izin sama Ayah pasti nggak diizinin, kenapa si Bu?” tanyanya.
“Diizinin, nanti Ibu yang bilang. Sekarang kamu ganti baju saja, kita jalan-jalan!”
Akhirnya Bintang pergi. Dalam hatinya masih mengganjal sebuah pertanyaan, mengapa ia tidak boleh bermain bersama teman-temannya di luar rumah.
 Rumah mewah, taman luas, kolam renang, ruang olah raga, mobil, motor, semuanya telah tercukupi di rumah ini. Tapi tetap Bintang merasa tidak bahagia. Hatinya selalu sedih. Ada sesuatu yang kurang dari kemewahan rumahnya, dari indah tamannya. Ia seperti terpenjara di sangkar emas yang megah.
Ketika kelas enam SD ibunya meninggal. Setelah ibunya meninggal, Ayah Bintang malah semakin menjadi-jadi. Setiap malam tidak pernah ada di rumah. Terkadang ia baru pulang ketika Bintang hendak berangkat sekolah. Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dengan diantar oleh seorang perempuan yang berpenampilan sangat seksi. Bisnis yang dulu sangat dibangga-banggakannya dan begitu gigih diperjuangkan perlahan tapi pasti mulai mengalami masa kritis. Kehidupannya semakin menghawatirkan.
Bintang tidak pernah disapanya lagi. Ia semakin takut ketika melihat Ayahnya. Salah sedikit saja, ia pasti dimarahin. Ia benar-benar merasa hidup sendiri. Sekolah mulai terganggu. Jangankan uang jajan, untuk makan pun Bintang siapkan sendiri. Tanpa lauk, ia  makan apa adanya.
Karena tidak betah tinggal di rumah, Bintang kabur. Sekolah ditinggalkan. Ia terkantung-kantung. Makan dari sisa orang makan. Tidur di emper-emper pertokoan. Tanpa kasur seperti di rumah mewahnya. Juga Tanpa bantal guling.
             Terminal yang bau pesing, jongko-jongko yang kumuh menjadi tempat hidup baru Bintang. Ia tidak tahu harus ke mana ia pergi, bagaimana ia makan, minum, sedangkan ia tidak punya uang sepeser pun. Lebih-lebih ia tidak punya teman untuk diminta pertolongan. Berhari-hari Bintang tidak makan. Badannya mulai terasa lemas. Akhirnya dengan terpaksa, bermodalkan kaleng bekas yang diisi pasir ia mengamen.
Bayangan tidak memiliki teman seperti di sekolah dulu menghantui pikiran Bintang. Ia semakin takut karena hingga saat itu Bintang tidak memiliki teman satu orang pun. Sedangkan untuk berkenalan dengan teman sebayanya ia merasa malu. Bintang merasa tidak pantas bergaul dengan mereka. Ia minder.
Berawal dari pertemuan yang tidak disengaja, Bintang berkenalan dengan Kobe. Dari dia pula Bintang kenal pada seorang preman terminal. Preman ini memberi makan pada beberapa anak jalanan, ia seperti ayah angkat bagi orang seperti Bintang, anak gelandangan. Sebagai imbalannya mereka harus mengobral suara cemprengnya pada penumpang-penumpang angkot yang lalu lalang. Selama beberapa hari Bintang tinggal di tempat asuhannya.
“Jek!” panggilan baru Bintang, Kojek, entah apa artinya.
“Malam ini ada pesta kecil, Bos kita baru dapat job gede-gedean,” ujar Kobe.
“Oke kawan, aku ikut!” getas Bintang
“Sip! itu baru Kojek.”
Bintang kaget bukan main ketika ia hadir di acara itu. Botol-botol berjejer di meja, cemilan, kacang, serta ayam bakar yang menggiurkan selara semuanya tersedia.
Ruang sempit itu sesak oleh puluhan orang. Bukan hanya gelandangan yang sering Bintang lihat, tapi juga gadis-gadis berpenampilan seksi. Mereka menari-nari, memperlihatkan sesuatu yang seharusnya mereka jaga.
Bintang merasa risih karena tidak biasa dengan acara seperti itu. Kobe yang mengetahui ketidaknyamanan Bintang mencoba menenangkannya. Ia mengenalkan Bintang pada beberapa orang temannya. Mereka tampak akrab sekali di mata Bintang. Ia merasa dihargai keberadaannya. Ia tidak dilecehkan lagi seperti dulu. Lalu, Ada rasa senang yang tiba-tiba memenuhi dada Bintang. 
Banyak hal baru yang ditemui Bintang di lingkungannya sekarang. Hampir setiap malam Bintang bersama teman-temannya berkumpul dan membeli beberapa botol minuman. Selain itu, ia sudah sangat akrab sekali dengan rokok. Entah kenapa ia begitu saja menurut ketika teman-temannya menawarkan rokok padanya. Dalam hati kecilnya, Bintang selalu bertanya, apakah benar yang dilakukannya.  
Di lingkungan barunya, Bintang bisa menari, bernyanyi, mengisi hari sebagai anak normal di tengah komunitas manusia, bukan diantara benteng kekayaan tapi miskin kasih sayang. Ia bisa menari bersama bintang yang berkedip di langit malam.Semoga Bintang menari laksana kejora yang mempesona, bukan bintang hitam yang membawa pertanda kelam

0 komentar:

Posting Komentar