Hanya ada seonggok jagung
dikamarnya
Ia memandang jagung itu
Dan ia melihat dirinya
terlunta-lunta[1]
Lelaki itu berdiam diri didalam rumah
gelapnya. Duduk di kursi nyamannya seraya mengelus bulu Godam anjingnya, dan
memandang keluar rumah, menatap matahari nan congkak memanasi bumi. Ia Sedang
menghayati kontemplasi tertinggi akan eksistensi diri dan realiti. Apakah hidup
harusnya disyukuri atau disesali sebab terkadang hidup tak menawarkan
kenikmatan untuk bisa melakukan keduanya. Syukur atau nikmat. Sebenarnya
sekitar 720 hari yang lalu lelaki ini ialah lelaki yang teramat tegar dan kuat.
Ia mempunyai semangat luar biasa dalam menggapai apa yang ia inginkan.
Filosofinya adalah segala yang berlari pasti masih bisa dikejar selama
kecepatan Kita dinaikkan perlahan namun konstan agar mampu melampau kecepatan
sesuatu itu, karena Kita memiliki sepasang kaki maka yang perlu Kita lakukan
adalah mengayunkan kaki Kita lebih lebar seraya berlari lebih kencang. Maka
sesuatu itu akan terkejar juga, hanya masalah waktu kapan saja. Yang
disayangkan dulu tak diperhitungkan lelaki itu adalah ternyata untuk berlari
secara konstan itu saja tidaklah mudah. Ternyata banyak rintangan menghadang
yang tak sesuai keinginan. Ada kala sebongkah kerikil tajam merobek ujung
jempol kakinya hingga membuatnya terluka dan darah mengucur di sela jari, lalu
luka itu membarah lama kelamaan jadi borok sebab infeksi menjadi. Ada saat
dimana rupanya otot kakinya protes kelelahan diajak terus berlari mengejar
sesuatu yang tak tentu apa itu, hingga sang lelaki terpaksa berhenti.
Beristirahat sejenak dan tentu saja apa yang dikejarnya terus bisa berlari jauh
dan menambah kembali jarak antara dirinya dan sesuatu itu. Memang apa sesuatu
yang dikejar lelaki itu? Konon namanya adalah impian dan nama panggilannya
ialah cita-cita.
***
Ternyata waktu yang memuai terlalu lama itu
membunuh kesabarannya perlahan. Lelaki yang dulu semangat berlari lama kelamaan
tak sabar juga dibuatnya oleh karena mimpi yang dikejar tak kunjung kesampaian.
Kini ia serasa lelaki yang kalah karena idealisme yang dipujanya setengah mati
semenjak 720 hari lalu akhirnya padam oleh rasa bosan. Alangkah geramnya sang
lelaki demi tahu bosan adalah pembunuh yang lebih manjur dari sianida dan juga
tikaman pedang zorro. Bosan mengendap mencuri semangat, maka sebenarnya jangan
pernah bosan. Karena hidupnya bosan mematikan dirimu perlahan, namun terlambat.
720 hari sudah sang lelaki mengkonsumsi kebosanan itu tiap hari. Kebosanan yang
timbul karena idealisme yang terbentur realita hingga ia bingung memilih antara
memperjuangkan cita-cita idealnya atau melebur kepada realita hidup yang
melingkupi hidupnya dengan menjadi orang kebanyakan. Masih terngiang pula
kata-kata kekasihnya yang sambil menatapnya nanar berkata “lupakan mimpi
tololmu, lalu bekerjalah seperti orang lain agar Kita dapat segera menikah
untuk hidup normal.” Itu tepat 360 hari lampau, sebuah stimulasi yang
mempercepat matinya semangat dan hidupnya bosan. Kini lelaki masih saja
kebingungan di rumah gelapnya memegang sebonggol jagung rebus untuk dimakan,
memandang dunia luar yang kejam, Godam yang berlarian seolah tanpa dosa, serta
menatap garangnya matahari dipuncak tertinggi cakrawala. Sambil dalam hati ia
berkata:
“Ia melihat dirinya
sendiri miskin dan gagal
Seonggok jagung ia di
kamar
Tidak menyangkut pada
akal Tidak akan menolongnya
…
disini aku merasa asing
dan sepi”[2]
***
Dari dalam rumahnya juga lelaki itu melihat
di sudut halaman rumahnya ada kerangka manusia tergeletak, tengkoraknya
menampakkan rongga mata yang tak ada bola matanya dan terkesan menyeramkan. Ada
juga sebilah belati menemani kerangka manusia itu dan sebuah piring besar yang
kosong tak ada isinya namun dalam piring itu terlihat jelas walau dari kejauhan
sebuah huruf A didalam lingkaran yang merepresentasikan sebuah kata: anarki.
Lagi-lagi masih dalam ceruk terdalam kebosanannya sang lelaki berpikir: “ah
manusia, Kita sudah sedemikian binatangnya sampai saling bunuh dalam gejolak
anarki hanya untuk memperebutkan piring yang Kita kira berisi makanan lezat
namun rupanya kosong belaka. Kita memperebutkan ketidakpastian dalam piring
kosong sampai mata Kita buta tak mampu melihat paha ayam goreng yang akhirnya malah
menjadi santapan anjing jalanan. Jika menjadi manusia sudah sedemikian
binatangnya, lalu kenapa Kita tak jadi binatang saja sekalian? Oh atau jadi
anjing saja seperti Godam. Lihatlah anjing Boomer berusia 3 bulan ini?
seolah tanpa dosa ia terus berlarian bersenang-senang. Tanpa ambisi menjadi
kuasa atau memikirkan problema hidup yang begitu banyak dinegeri ini. Alangkah
irinya Aku padamu Godam, rupanya Kamu lebih bahagia ketimbang diriku. Tuanmu
yang tak tahu malu ini.”
Saat hari menjelang petang dan sang
matahari garang hendak beranjak ke peraduan, saat itulah sang lelaki didalam
rumah gelap sampai pada fase akhir kontemplasinya tentang rasa bosan,
teralienasi dari lingkungan, rasa ketidakberdayaannya memanajemen antara
idealisme dan realita, dan lain sebagainya. Lalu kenapa sang lelaki demikian
malang dalam hidup ini? Mungkin ia adalah reinkarnasi tokoh-tokoh sentral dalam
mitologi Yunani, sang lelaki adalah Sisifus, yang dihukum dewa Yunani untuk
terus mendorong sebuah batu besar keatas gunung, hanya untuk melihat ketika
sampai diatas gunung lalu Dewa menjatuhkan lagi batu itu sampai menggelinding
kebawah dan Sisifus harus mengulangi mendorongnya lagi. Terus berulang sampai
mati. Sang lelaki juga adalah bentuk resureksi Ikarus yang berambisi besar dan
berjiwa muda. Setelah dikurung bersama ayahnya di Pulau Kreta, lalu sang ayah
membuatkannya sebentuk sayap dari bulu angsa yang direkatkan dengan lilin. Sang
Ikarus berhasil terbang dengan sayap itu dan merasa bebas, lalu mengindahkan
nasihat Ayahnya untuk tidak terbang terlalu tinggi aagar matahari tak
melelehkan lilin sayapnya, atau terlalu rendah agar tak terkena air laut. Jiwa
muda dan idealisme Ikarus membuatnya lupa akan seluruh nasihat Ayah, terbanglah
ia tinggi sampai mendekat matahari. Dan benar saja lilin sayapnya meleleh,
jatuh bebaslah Ikarus ke laut Aegea dan mati karena idealismenya. Sang lelaki
lalu mendapatkan jawaban akhir atas segala keadaannya: “percaya diri dan
idealisme membabi buta pada akhirnya memang tidak menghasilkan apa-apa jika Kita
tak mau sedikit saja berbaur dengan realita. Idealisme itu perlu karena
tanpanya Kita adalah robot tanpa mimpi dan cita-cita, namun uang dan hidup
nyata juga perlu karena tanpanya Kita tak bisa menolong diri sendiri, apalagi
menolong orang lain.” Sang lelaki tersadarkan kini, masih ditatapnya matahari
yang kini di ufuk barat serta berwarna merah indah. Dipeluknya Godam anjing
kecilnya, dan dengan sebuah pena menuliskan beberapa kata disecarik kertas
putih, kata yang diperuntukkannya kepada Ikarus yang dianggapnya sebagai
representasi dirinya yang terbang terlampau tinggi namun jatuh terjerembah ke
bumi. Kata-kata itu berbunyi:
“hidup tak selamanya
linier…
…Kau, terbang dari
ketinggian mencari yang paling sunyi
Dan Kau melayang, mencari
mimpi-mimpi tak kunjung nyata.
Kulihat engkau terkulai,
tubuhmu membiru…tragis[3]
0 komentar:
Posting Komentar