Aku nggak tahu, akhir-akhir ini aku kerap termangu sendiri
menatap jendela tiraiku. Bentuknya unik, menarik, bergaya ghotic dengan
aksen warna biru jingga (wah… warna apa pula tuh!), dipadu lagi dengan view
yang tampak dari jendela, sebuah panorama yang lumayan menarik, padang
rumput yang luas menghijau plus sebuah pondok yang kira-kira lima kali
lebih kecil dari villa yang sedang kutempati ini.
Bukan itu saja motivasi utamaku betah berlama-lama di
jendela lantai dua, namun sosok cantik dengan baju biru–yang seakan sepadan
dengan warna jendela, menarik perhatianku. Meski nggak secantik Mischa Barton,
atau Penelope Cruz sekalipun, namun menatapnya membuatku nyaman. Sosok itu
sering hadir di taman pondok.
Nyaris dua minggu sudah aku menginjakkan kaki di villa ini,
villa baru yang dibeli Mama karena berhasil menerima award dari sebuah
perusahaan marketing multilevel yang diikutinya. Kebetulan liburan akhir
semesterku masih tersisa, kuluangkan saja untuk nyantai di villa. Pemandangan
gunung, barisan sawah, lekukan sungai, ternak, kerbau sepertinya cocok untukku.
Sekaligus menjauhkan kejenuhan mataku terhadap kota yang begitu bising, penuh
polusi, dan keramaian yang terkadang bagiku memuakkan.
Penasaranku makin mencuat saat aku mendapati sosoknya
kembali pagi ini. Aku bergegas menuju balkon untuk melihat lebih jelas wajah
sosok itu. Derit langkahku melaju dan kini berdiri tepat menghadang. Aku
setengah kelimpungan mencari sosok itu yang hilang beberapa menit.
Tiga menit berlalu aku kembali melihatnya berdiri, menyandar
dinding pondok. Ia duduk termangu dengan topangan dagu. Entah apa yang terjadi.
Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. Tadi kulihat jelas ia ceria–meski itu
kesimpulan pribadi, dengan lenggokan gaya yang manis.
Aku berniat untuk menyambangi pondok kecil di tengah
pemandangan indah sawah. Dengan jiwa yang berapi-api aku mengatur langkah.
Memakan waktu lima menit sebelum akhirnya aku menyaksikan dengan dekat keadaan
pondok. Wah… lingkungan pondok yang kulihat begitu manis, ternyata sedikit
nggak keurus. Mungkin jarak yang begitu jauh menyamarkan pandangan atau mungkin
saja sawah, sungai dan bukit pegunungan sekitar sengaja menutupi kekurangan
dari pondok ini, hingga nggak terdeteksi mataku.
Aku menggeleng heran. Saat kakiku selangkah lebih dekat ke
pondok itu, nggak kudapati dirinya. Mungkin ia sudah berlalu masuk ke dalam
pondok sejak tadi, aku berspekulasi. Aku memang kurang beruntung kali ini.
“Aku harus bertemu dengannya,” janjiku kemudian dalam hati. Mungkin besok?
Lusa? Atau sebentar… lah. Yup! benar, aku mesti lebih cepat.
***
Dua hari sejak kedatanganku itu, nggak pernah sekalipun
diriku menjumpai sosoknya dari balik jendelaku. Mungkin waktu yang salah,
hingga penantianku berbuah nihil. Lelah juga bila seharian terus kutunggu, mending
enakan makan atau nyantai apalah…. Lagipula tinggal sehari liburanku di sini.
Bertengger di balik jendela bukanlah solusi yang tepat untuk saat ini.
“Kenapa? Bengong?”
Mang Diman–penjaga Villa keluargaku, mengagetkan lamunan
aku. Aku kembali menatapnya setengah kagok. Diam-diam Mang Diman memperhatikan
keadaan aku akhir-akhir ini. Keseringan bengong sendiri, pasti menarik
perhatian orang lain.
Jelas yang membuatku bengong nggak lain, sosok itu. Aku
benar-benar nggak sabar dan mulai sigap kuungkapkan apa yang kualami dua minggu
lebih ini. Mang Diman mengangguk-angguk sok ngerti saat kuceritakan semua. Ia
tampak gagu mendadak saat kuceritakan bahwa aku kemarin berani mengunjungi
pondok mungil itu.
“Pondok itu nggak berpenghuni lagi sejak tujuh bulan lalu.
Menurut warga sini, seorang wanita pemilik pondok itu hilang begitu saja. Warga
sekitar pun nggak tau kejadian yang sebenarnya,” cerita Mang Diman.
Aku terkesiap. Dan desahanku bermain fluktuasi, pantas saja
sosok itu sering menghilang tiba-tiba.
“Barangkali yang kau lihat, warga sekitar yang kebetulan
istirahat atau…”
Masa bodoh dengan omongan Mang Diman, sebab kini napasku
makin memburu nggak karuan.
The end
0 komentar:
Posting Komentar